Selepas kulineran bareng Anggrek, saya bertemu dengan beberapa orang teman dari Insta Purwokerto. Teguh dan Rafi, menjemput saya untuk menemani mengeksplor curug-curug yang ada disekitaran Baturaden. Sayang, hujan turun dengan derasnya dan hal itu membuat kami harus berteduh di rumah Yofie, admin dari InstaNgapak.
Menunggu hujan reda, kami menikmati tempe mendoan hangat yang disajikan oleh Yofie. Tempe mendoan terenak yang pernah saya coba. Tempenya sangat berbeda dengan tempe yang ada di Jakarta. Tapi kali ini saya tak akan bercerita tentang mendoan, saya akan menceritakan kisah saya dan teman-teman Insta Purwokerto.
Setelah berunding, kami berempat memutuskan untuk langsung bergerak menuju Curug Telu saat hujan reda. Butuh waktu sekitar tiga puluh menit saja untuk mencapai Curug Telu. Ada beberapa curug yang menarik disepanjang perjalanan menuju Curug Telu. Salah satunya yang terkenal adalah curug Sendang Bidadari. Untuk mencapai Sendang Bidadari, kami harus melintasi sebuah gua terlebih dahulu untuk sampai di Curug. Sayang, kami tak sempat mengambil foto di Sendang Bidadari karena debit air yang sangat deras dari atas gua.
Anak tangga demi anak tangga kami lewati dengan perlahan karena lantainya cukup licin akibat lumut. Singkat cerita, tiba juga kami di Curug Telu. Curug yang satu ini debit airnya cukup kencang, apalagi dengan elevasi yang cukup tinggi, menciptakan deburan air yang bisa dibilang besar jika dibandingkan curug-curug yang pernah kudatangi sebelumnya.
Awan gelap saling menggulung satu sama lain, membuat langit yang awalnya biru cerah menjadi abu kehitaman. Suara petir terdengar menyambar, disusul cahaya kilat yang menggelegar. Rintik hujan mulai turun membasahi bumi, pertanda kami harus segera bergegas untuk mencari tempat berteduh.
Tak disangka disaat perjalanan menuju ketempat parkir curug Telu, kami berpapasan dengan Rian, salah satu iGers yang cukup aktif di Purwokerto. Setelah saling berkenalan dan mengobrol sebentar, kami langsung bergerak Bersama menuju destinasi selanjutnya, yaitu curug Kembar.
Ternyata, jalur yang harus kami tempuh sangat berbeda. Jika jalur menuju Curug Telu sudah diberi tangga, berbeda dengan Curug Kembar. Kami harus berjibaku dengan jalur tanah di sisi sawah. Jalannya penuh lumpur dan becek sekali. Bahkan saking beceknya, kaki saya digigit oleh pacet. Gigitan pacet ini tak terasa, untungnya Yofie memberi tahu ada pacet yang sedang asyik gelendotan di betis.
Hujan turun semakin deras. Saking derasnya, saya tidak sempat lagi mengambil foto yang cukup di Curug Kembar. Padahal, Curug Kembar pemandangannya asyik sekali. Ada dua buah curug yang bersebelahan dan debit airnya juga tak terlalu kencang, cocok untuk berenang santai. Sayang, kondisi cuaca hari ini sama sekali tak mendukung.
Kami bergegas bergerak menuju pintu gerbang masuk Curug Kembar usai mengambil foto ala kadarnya. Bahkan saking derasnya, kami harus berteduh di saung dahulu, menunggu hujan sedikit reda, lalu melanjutkan perjalanan kembali ke gerbang.
Ternyata hujan malah semakin ganas. Warung tempe mendoan menjadi lokasi dimana kami berteduh. Disana, kami saling bercerita kisah masing-masing dibawah derasnya hujan. Bercerita dengan teman-teman dalam suasana remang dan sunyi, selalu menyenangkan.
Tiba-tiba,ada yang teriak.
“Aaaaaaaaaaa ada Pacet!”
Kampret, yang tadinya tenang menenangkan, malah jadi rame ketakutan gara-gara ada yang lempar-lemparan pacet! Sampai si ibu penjual mendoan jadi kaget gara-gara di sekitar kakinya banyak pacet! Entah itu pacet yang kami bawa dari Curug atau memang pacet yang ada disekitar warung.
Tag temenmu yang suka merusak suasana pas lagi jalan-jalan